Pada tanggal 7 Pebruari yang lalu, suku bangsa Tionghoa di seluruh dunia merayakan perayaan Tahun Baru China atau disebut Tahun Baru Imlek. Begitu juga masyarakat Indonesia khususnya dari keturunan etnis Tionghoa juga merayakan Tahun Baru Imlek.
Sudah enam tahun sejak dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 TENTANG HARI TAHUN BARU IMLEK tertanggal 9 April 2002, perayaan Tahun Baru Imlek telah dirayakan secara bebas. Namun sayang, nampaknya masih banyak orang, khususnya di Indonesia, yang salah memahami perayaan Tahun Baru Imlek sebagai hari perayaan keagamaan khususnya menganggap sebagai perayaan dalam agama Buddha.
Kesalahpahaman mengenai anggapan bahwa Imlek adalah perayaan agama Buddha oleh sebagian besar orang, khususnya di Indonesia, didasari oleh kurangnya informasi yang benar dan melekatnya stigma dan sikap penyamarataan bahwa warga keturunan etnis Tionghoa pastilah beragama Buddha, Tao atau Kong Hu Chu, dan agama Buddha adalah agama khusus warga keturunan etnis Tionghoa. Sehingga ketika umat Buddha Indonesia yang sebagian besar adalah berlatar belakang keturunan etnis Tionghoa merayakan tradisi Tionghoa, dalam hal ini perayaan Imlek, maka sebagian besar orang beranggapan bahwa Imlek adalah hari raya agama Buddha. Padahal tidak demikian.
Secara singkat, Imlek sendiri merupakan suatu perayaan tradisi menyambut musim semi dan berakhirnya musim dingin yang dilakukan oleh suku bangsa Tionghoa di Tiongkok (China), yang dalam perkembangannya ditetapkan sebagai hari penggantian tahun.
Penanggalan Imlek di Tiongkok dimulai sejak tahun 2637 SM, sewaktu Kaisar Oet Tee / Huang Ti (2698-2598 SM) mengeluarkan siklus pertama pada tahun ke-61 masa pemerintahannya. Penanggalan Imlek sebutan asalnya adalah He Lek, yakni Penanggalan Dinasti Ke / Hsia (2205-1766 SM) yang pertama kali mengenalkan penanggalan berdasarkan matahari, dan penetapan tahun barunya bertepatan dengan tibanya musim semi. Dinasti Sing/Ien (1766-1122 SM) menetapkan tahun barunya mengikuti Dinasti He, yakni akhir musim dingin.
Dari penjelasan di atas jelas bahwa Imlek berawal dari sebuah tradisi menyambut musim semi, dan tidak ada kaitannya dengan perayaan keagamaan manapun. Dengan demikian, Imlek dapat dirayakan secara lintas agama, khususnya mereka yang berlatar belakang keturunan etnis Tionghoa.
Salah satu acara dalam perayaan Imlek adalah ”sembahyang” leluhur. Acara ”sembahyang” leluhur ini rupanya diartikan oleh warga keturunan etnis Tionghoa yang beragama non-Buddhis, non-Tao dan non-Kong Hu Chu sebagai acara berdoa memohon rejeki kepada para leluhur sehingga mereka menganggap bahwa hal tersebut bertentangan dengan ajaran agama mereka. Karenanya, banyak umat Kristen maupun Muslim keturunan etnis Tionghoa yang meninggalkan tradisi perayaan Imlek.
Berbeda dengan umat agama lain, umat Buddha keturunan etnis Tionghoa memandang acara ”sembahyang” leluhur sebagai suatu penghormatan kepada para leluhur dan bukan meminta rejeki kepada para leluhur. Jadi istilah ”sembahyang” yang tepat bukanlah berarti berdoa meminta kepada leluhur, tetapi justru menghormati dan mendoakan para leluhur. Dan menghormati mereka yang patut dihormat adalah salah satu wujud dari pelaksanaan Dhamma (Kebenaran).
Dengan demikian, meskipun Imlek bukan merupakan hari raya agama Buddha namun umat Buddha yang berlatar belakang keturunan etnis Tionghoa dapat dengan bebas merayakan Imlek.
Selamat Tahun Baru Imlek bagi yang merayakannya.
Sumber: http://www.forumbebas.com
0 komentar:
Posting Komentar